Thursday, October 10, 2013

Wawancara dengan Majalah Cobra

Setelah COD-an berjalan lancar, saya membawa pulang piringan hitam mini album Aurette And The Polska Seeking Carnival (AATPSC) ke rumah. Desain grafis sampulnya saja sudah memancarkan imajinasi itu– dengan terang warna-warni pada huruf di atas warna emas yang memancarkan sugesti sinar. Dan ketika jarum diletakkan, suara-suara yang berkilau hangat memang menyambut telinga. Cantik. Dari akordeon, ukulele, mandolin, trumpet, trombone, keyboard, pola perkusinya… dan vokal itu cukup pas juga untuk membawa ruangan di rumah menjadi seperti padang terbuka berlangit biru muda dengan pelangi berakhir di ujung rumputnya. Seperti dongeng klasik dari negeri Eropa yang dibacakan dengan santai setelah kita mandi sore.
Ya, saya jatuh hati dengan rekaman band ini. Mungkin mereka memang benar, “unyu” bisa menjadi deskripsi yang tepat. Saya mencari kontak AATPSC pada sleeve rilisan, dan mulai menuliskan pertanyaan wawancara, kemudian dilayangkan pada alamat elektronik mereka.
Bisa ceritakan masa awal kalian terbentuk? Bagaimana kalian bisa berkumpul dan bermain musik bersama?
Jika ditanya apa yang menyatukan kami, tak lain adalah kebosanan. Band ini terbentuk saat kami bosan dengan lingkungan kampus serta rutinitasnya. Hal ini dikarenakan atmosfer berkesenian kampus kami, sebuah kampus seni negeri di Yogyakarta, ternyata tak sesuai ekspektasi kami. Awalnya Teadatu mengajak Aurel untuk membuat grup musik duet akustik, lalu Teadatu tidak sengaja mengajak beberapa temannya untuk mengiringi; ada Aris pada drum, Mursid pada trumpet, Rian pada conga & Dani pada bas, tapiii… setelah beberapa kali latihan malah keterusan, dan kami merasa cocok bermusik bersama. Akhirnya kami menambah satu instrumen yaitu trombone dimana Bayu yang memainkannya, dan akhirnya ditetapkan bahwa kami 7 orang dan membentuk satu band bernama Aurette and The Polska Seeking Carnival pada April 2012 silam.
Apa-apa saja yang paling memancing kalian untuk menulis lagu-lagu? Tempat-tempat, buku-buku, atau perbincangan mungkin?
Kalau boleh jujur dalam menulis musiknya tentu saja dari lagu orang lain. Karena biasanya kita-kita ini kalau sudah dengar musik buatan orang lain kan terus kepengen bikin juga. Sama kayak waktu kita masih di bangku SMA dulu, gara-gara denger lagu band apa gitu, terus kita jadinya pengen ngeband dan ikutan parade atau festival band. Makanya setelah denger lagu siapa gitu, kami terus pengen nulis musik yang mirip itu. Beda lagi dengan lirik lagu, pasti muncul dari pengalaman pribadi atau pun kejadian sosial. Atau setelah baca buku yang menarik gitu, tiba-tiba tuing muncul bohlam lampu di atas kepala yang menandakan ada ide bikin lirik sesuai cerita dalam buku yang dibaca tersebut.
Seperti apakah proses mengaransemen lagu dalam band kalian? Apa saja pertimbangan-pertimbangannya? Apakah ada yang lebih mendominasi dalam menyusun aransemen, juga arahan mixing rekaman?
Cara mengaransemen berjalan begitu saja, biasanya urusan aransemen dipegang oleh ibu Teadatu, sedangkan penulisan lirik dipegang Aris. Tapi member yang lain juga boleh berkontribusi, bahkan disarankan untuk menambah bumbu sesuai kebutuhan, hanya saja tidak semua harus dimasukkan, jika komposisi dirasa sudah cukup ya kegiatan mengaransemen dihentikan. Dan jadilah sebuah lagu. Untuk arahan mixing, semua member band berkumpul di studio dan punya kontribusi yang sama, mereka urun rembug mana sound yang sesuai dengan instrumen masing-masing, mana yang kurang, mana yang harus ditambah. Dan jadilah sound yang menurut kesepakatan pas, hasilnya ya bisa didengar di EP debut kami itu.
Kalian berasal dari Yogyakarta, kota yang banyak melahirkan band menarik. Bisa tahu band-band apa saja yang menjadi favorit kalian?
Yak, kami bersyukur bisa bermusik di kota hebat ini. Yogyakarta selalu melahirkan musik-musik asyik dari band-band asyik. Beberapa yang kami favoritkan adalah Melancholic Bitch dengan musik cult-nya. Risky Summerbee and the Honeythief yang psychedelic, lalu Answer Sheet yang minimalis dengan konsep duo ukulele yang catchy. Ada pula Syarlothsita yang ceria dan centil. Lalu Brilliant at Breakfast dengan tweepop. Jangan lupakan Festivalist, Sangkakala, dan Seex Six Sick senior kami di kampus seni itu. Ada lagi yang harus kalian dengarkan musiknya dan tonton perform-nya, namanya Jono Terbakar. Konsepnya akustik minimalis dengan lirik nakal dan simpel yang bikin ngakak. Misalnya dengan lirik “Aku kudu piye tweeps? Aku kudu piye tweeps? Aku kudu ngetwits…Aku kudu ngetwits” Hahahaha…
Bisa cerita sedikit tentang rilis piringan hitam kalian? Obrolan-obrolan apa saja yang menarik bersama label kalian, Elevation Records?
Sebetulnya kami tidak pernah menyangka kalau EP yang kami hasilkan dari perjalanan band yang baru seumur jagung ini akan dirilis dalam bentuk piringan hitam. Sebelumnya EP ini dirilis terbatas 100 copy CD dan 50 copy kaset pita pada Maret 2013 kemarin. Setelahnya, kami memutuskan tidak memproduksi ulang karena keterbatasan dana. Namun tiba-tiba ada obrolan dengan mas Taufiq Rahman dari Elevation Records, beliau bilang suka dengan musik kami dan pengen merilis ulang dalam format vinyl. Format yang sebenarnya asing bagi kami yang sebagian besar tumbuh di era kejayaan kaset pita dan CD. Namun setelah beberapa obrolan dan jadilah, akhir September ini rilis ulang EP kami dalam bentuk vinyl oleh Elevation Records. Sebelumnya, pada Agustus kemarin kami dan Elevation Records sepakat membebaskan semua orang untuk mengunduh format mp3 EP tersebut gratis di situs Elevation. Hanya dalam waktu seminggu. statistik bilang yang unduh ratusan orang. Kami jadi mikir, kalau semua angka itu vinyl, bukan bebas unduh, duitnya banyak kali ya. Hahahaha. Tapi vinyl EP kami lagi-lagi hanya dirilis terbatas 100 copy.
Oh ya, berapa usia rata-rata kalian sekarang? Dan apa yang paling mempengaruhi dari masa lalu kalian?
Usia kita berbeda-beda, dimulai dari angka 20 sampai 33. Siapa saja pastinya? Silahkan ditebak sendiri ya …. hehehe. Ada yang tua, ada yang muda (menjurus unyu-unyu). Yang paling mempengaruhi dari masa lalu apa ya? Hmmmm, mungkin kita perlu mengutip Patkay dari film Kera Sakti yang selalu berkata “Dari dulu beginilah cinta, penderitaannya tiada akhir.’ Mungkin cinta ya masa lalu yang paling mempengaruhi kami sekarang. Masa lalu tentang percintaan yang indah, atau sedih karena putus, atau kangen karena LDR. Dan lain sebagainya, dan seterusnya. Hahahaha. Kalian pasti mengharap jawaban yang lebih ajaib semacam broken home ala Kurt Cobain ya? Atau apa gitu yang berbau politis? Hehehehe. Mungkin ada ya faktor itu di masa lalu kami (atau masa kehidupan sebelumnya, jika kalian percaya reinkarnasi). Tapi kami memilih cinta sebagai masa lalu yang paling mempengaruhi kami, biar band ini terkesan unyu. Hahahaha

Oleh: Harlan Boer
September 2013

No comments:

Post a Comment